Obrolan (2)

"Aku adalah orang yang paling jarang menangis, kalaupun nangis ya sembunyi-sembunyi... gak suka dilihat orang pokoknya bahkan orang tuaku sendiri," katamu tiba-tiba mengawali percakapan sore itu.
Sambil memandang senja sore itu aku hanya mengiyakan, "Kamupun gak pernah nangis di depanku, gengsi ya?"
Kamu tertawa kemudian berkata, "Nggak gengsi, hanya kurang nyaman mungkin. Selama ini aku terbiasa menjadi sandaran buat orang lain, semacam sumber kekuatan bagi orang lain. Jadi aneh saja rasanya kalau aku menjadi lemah."
Aku menoleh memandangimu lekat, kamu masih saja asik melihat matahari yang perlahan turun. Ah, kamu masih saja susah ditebak.
"Tapi pengecualian dengannya..." kamu melanjutkan. Keningku berkerut mendengar pernyataanmu, dia siapa? Yang membuatmu terluka itukah?
Seolah tahu apa yang ku pikirkan kamu menjawab, "Iya dia, dengannya aku tak ragu untuk menangis sampai tersedu. Karena dia bersedia menjadi sandaran dan pendengar yang baik sekaligus,sudah ku katakan bukan? Dia bisa menjadi apapun yang ku butuhkan." Sambil menerawang kamu tersenyum, mungkin kembali membayangkan masa itu.
"Iya, kemudian dia juga yang menyakitimu paling dalam," kataku sambil tak lepas mengawasi raut wajahmu, takut-takut kalau kamu marah.
Senyummu menghilang, terdengar kamu menghela nafas dengan berat. Sambil tertunduk kamu berkata pelan, "Ku pikir dia adalah orang yang tepat buat menunjukkan semua sisi terlemahku, ternyata dia malah nggak menyukai aku yang lemah. Aku jadi ikut nggak menyukai diriku yang lemah, ah memang harusnya nggak berharap ke manusia ya."
"Sudahlah, nggak apa-apa. Its okay not to be okay," aku mencoba menghibur sambil merangkulmu.

...sebab semakin dekat hubungan kita dengan seseoraang, semakin mudah kita melukai atau dilukai.
John Gray dalam buku Men are From Mars, Women are From Venus

Selasa, 01 Januari 2019

Posting Komentar

Just leave a comment ^_^